I. Sumber permodalan bagi usaha
mikro/kecil
Apapun jenis usaha yang dikelola tidak terlepas dari modal/dana baik berupa
modal investasi maupun modal kerja. Besar modal yang dibutuhkan tergantung pada
jenis usaha, luas pemasaran, bahan baku dsb yang sering disebut dengan Studi
Kelayakan Usaha. Kriteria usaha mikro, kecil, menengah dan besar berbeda-beda
sesuai dengan cara pandang/persepsi masing-masing lembaga yang menerbitkan
kriteria tersebut. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Usaha Kecil memberi
kriteria Usaha Kecil adalah usaha yang berbadan hukum maupun tidak berbadan
hukum yang mempunyai asset maksimal Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan,
omzet tahunan maksimal Rp 1 miliar, dimiliki WNI, independen dan tidak
terafiliasi dengan usaha menengah-besar.
Sumber permodalan bagi usaha mikro/kecil biasanya berasal dari modal sendiri,
pinjaman tetangga/famili bahkan kebanyakan dari para pelepas uang/rentenir,
sedangkan usaha menengah dan besar biasanya melalui perbankan/sindikasi
perbankan guna membiayai modal investasi maupun modal kerja. Pengusaha menengah
dan besar cukup bankable yang memenuhi persyaratan 5 C yang diisyaratkan
perbankan. Usaha mikro/kecil pada umumnya tidak bankable khususnya dalam
memenuhi jaminan/collateral yang pada akhirnya tiada jalan lain kecuali
terjerat oleh pelepas uang/rentenir dengan suku bunga yang tinggi kurang lebih
15% sebulan.
II.
Pelepas Uang/Rentenir
Di masyarakat dapat kita lihat seseorang yang berperan meminjamkan uang
pribadinya kepada orang lain dengan sesuatu imbalan bunga/jasa biasa disebut
pelepas uang/rentenir/pembunga uang. Ada oknum yang bertameng koperasi atau
badan lainnya, yang secara hukum tidak dibenarkan sebab lembaga resmi yang
boleh meminjamkan uang kepada masyarakat adalah perbankan dan Koperasi Simpan
Pinjam.
Proses transaksi/pinjaman pada rentenir cukup sederhana, cukup dengan KTP, ada
usaha/tempat jualan, singkat, mudah dan cepat/pelayanan prima. Pelayanan prima
dimaksud mulai dari proses peminjaman dan pengembalian, rentenir datang menemui
nasabah/calon nasabah setiap hari selama masa peminjaman bahkan walaupun
menunggak tetap diberikan dengan memperhitungkan bunga berbunga sehingga
nasabah terjerat. Tidak jarang nasabah akhirnya barang/assetnya tergadai pada
rentenir untuk menutupi utangnya.
Pada dasarnya nasabah tahu dan mengerti bahwa terjerat dengan bunga yang tinggi
namun tidak ada alternatif lain sumber modal yang semudah rentenir, yang
akhirnya secara sadar dan terpaksa harus mengikuti kehendak rentenir demi
kelangsungan usahanya. Salah satu solusinya adalah memperkuat “Baitul Maal
Wat Tamwil/BMT” di tengah masyarakat.
III.
Baitul Maal Wat Tamwil/BMT
BMT adalah lembaga usaha ekonomi rakyat kecil, yang beranggotakan orang-seorang
atau badan hukum berdasarkan prinsip syariah dan prinsip koperasi. BMT
didirikan oleh masyarakat dengan pendiri antara 20-50 orang yang mengumpulkan
modal simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela. BMT dikelola secara
syariah tanpa bunga karena bunga menurut agama Islam adalah riba yang dalam
keyakinan iman orang muslim adalah haram. Penggantian istilah “Bunga” menjadi
“Bagi Hasil” bukan semata-mata hanya mengalihkan istilah atau nama saja tapi
lebih memiliki nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kejujuran dan kasih sayang,
tidak ada penindasan manusia atas manusia dan sesuai syariat Islam. Ada
beberapa perbedaan yang prinsip antara bunga dengan bagi hasil yaitu:
a. Penentuan
besarnya hasil yang didapat, kalau sistem bunga ditetapkan dulu sebelum kredit
dicairkan/realisasi, sedangkan sistem bagi hasil ditentukan setelah kredit cair
setelah berusaha dan untung.
b. Sistem
bunga biasa dengan persen yang ditentukan oleh pihak pemberi kredit, sedangkan
sistem bagi hasil ditentukan berdasarkan kesepakatan proporsi pembagian
keuntungan untuk masing-masing pihak misalnya 50:50, 40:60 dsb.
c. Sistem
bunga jika terjadi kerugian ditanggung nasabah saja sedangkan sistem bagi hasil
ditanggung kedua belah pihak sesuai kesepakatan.
d. Bunga
dihitung dari dana yang dipinjamkan sehingga jelas nilai rupiah yang akan
diterima sedangkan bagi hasil diperoleh dari untung yang bakal diperoleh/belum
tahu besarannya.
e. Sistem
bunga berlawanan/tidak sesuai dengan syariat Islam sedangkan sistem bagi hasil
sesuai syariat islam.
Produk BMT atau pelayanan
usaha BMT berbeda dengan usaha Koperasi yaitu simpanan sukarela mudharabah (SM)
biasa, simpanan mudharabah (SM) pendidikan, SM haji, SM qurban dsb. Pelayanan
berbentuk pelayanan pembiayaan antara lain Pembiayaan Mudharabah, Pembiayaan
Musyakarah, Pembiayaan Murabahah.
IV.
Peluang dan Tantangan
Peluang berkembangnya BMT cukup potensil mengingat sebagian besar penduduk
Indonesia beragama Islam dan lebih kurang 40 juta UKM yang perlu dilayani dalam
pembiayaan permodalan untuk pengembangan usahanya. Di samping itu sistem bunga
masih dalam perdebatan khilafiyah, banyak kaum muslim yang tidak menyimpan
uangnya di perbankan karena tidak mau dengan sistem bunga.
Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan sistem syariah/BMT adalah kesiapan
masyarakat dalam menerima dan memahaminya sebab masih ada masyarakat yang
menganggap pola syariah identik dengan zakat-infak atau gratis sebab bernuansa
keagamaan. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah kejujuran nasabah dalam
memberi data keuangan/keuntungannya setiap bulan dalam rangka menentukan bagi
hasil keuntungan tersebut. Demi menghindari bagi hasil kadangkala seharusnya
untung dilaporkan rugi. Pelayanan prima para rentenir merupakan tantangan bagi
BMT guna memenangkan persaingan.
V.
Penutup
BMT merupakan alternatif sumber permodalan yang harus dikembangkan di
tengah-tengah masyarakat muslim pada khususnya guna ketenangan berusaha bagi
UKM pada umumnya. Untuk itu perlu langkah-langkah strategis untuk mencapai hal
tersebut antara lain:
a. Perlu
sosialisasi kepada ummat muslim oleh ustad/petugas BMT melalui majelis taklim
atau pengajian secara intensif sehingga sistem bagi hasil benar-benar dipahami
masyarakat/diterima dan dipercaya masyarakat.
b. Hendaknya
setiap mesjid, para jamaah yang mampu membentuk BMT guna membiayai UKMyang
merupakan jamaahnya sehingga fungsi mesjid tidak hanya melulu ibadah saja tapi
berfungsi dalam melayani kepentingan ekonomi ummat/muamalat.
c. BMT
perlu melayani nasabah dengan meniru cara para rentenir memberi pelayanan yaitu
mendatangi para UKM di pasar-pasar tradisional dengan memakai identitas BMT
yang jelas demi merebut hati para UKM. UKM dikelompok berdasarkan domisili dan
diadakan pengajian/majelis taklim antar nasabah sehingga kepentingan dunia
dibarengi dengan kepentingan akhirat.
d. BMT
dapat memanfaatkan lulusan madrasah, pondok pesantren, sarjana ekonomi syariah
sebagai petugas lapangan/salesman BMT sekaligus sebagai penceramah agama pada
majelis taklim/pengajian nasabah BMT.
e. BMT
juga dapat mengelola infak atau mungkin zakat maal untuk memperkuat
permodalannya.
f. Diharapkan
good will pemerintah khususnya Menegkop dan UKM lebih intensif membina BMT di
seluruh Indonesia khususnya di kalangan ummat muslim.
Akhirnya perkembangan BMT tergantung
kepada masyarakat muslim pada khususnya, dengan merubah pola pikir dan tindakan
nyata di lapangan dalam melayani kebutuhan UKM sehingga manfaat BMT dirasakan
UKM dengan prinsip sederhana, mudah, murah dan cepat dan tepat. Semoga BMT
semakin jaya. Amin. (Penulis, Penasehat Dekopinwil Sumut/mantan Ka Badan
Ketahanan Pangan Prop. Su/d)